Slide Show

Sabtu, 13 Februari 2010

SUP GAPLEK PAGI HARI (DRY CASAVA SOUP FOR SOUL) – cepuk 01:

APA YANG BISA DIPERBUAT UNTUK WONOGIRI?

Oleh: Sarjono, SE, M.Ak, CFE, Ak (Sarjono Bregas al-Wanaghiry)


Suatu ketika ditanya simbah, “Le... (panggilan orang tua ke cucu), nek kowe lungo mboro, omah-omah neng paran, terus sing manggon neng ndeso sopo?” Terkejut mendengar pitakone simbah, karena sejak dulu warga Wonogiri memang suka mengembara, merantau untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Lha, koq baru ditanyakan kepada saya yang merupakan entah generasi ke berapa yang mencari penghidupan di luar Wonogiri.

Pertanyaan itu sangat simpel, sederhana, dan mungkin kita menganggap sepele atau tidak ada maknanya. Namun, cobalah kita sejenak merenungkan kata demi kata yang diucapkan simbah tersebut. Tampaklah sebuah kekhawatiran atau kegamangan yang tersirat. Ya, pantaslah para simbah-simbah kita khawatir dengan keberadaan kampung asal kita, yang setiap tahun melahirkan jawara-jawara pencari nafkah keluarga. Yang setiap tahun mencetak para tangan-tangan kokok dan kuat, yang namanya berkibar di luar Wonogiri.

Sedangkan, orang tua kita, simbah kita, menunggu desa dan kampung kita dengan setia, sampai akhir hayat disertai perasaan khawatir, jangan-jangan para jawara itu lupa dengan tempat asalnya. Mungkin beliau khawatir, kita membangun kemegahan dan kesuksesan negeri orang, tapi melupakan asal kita yang sekarang sebagian masih tertinggal, masih banyak yang didera kesulitan baik bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi.

Okeylah, untuk menutup rasa kekhawatiran simbah-simbah kita, sudah semestinya kita bertanya, terus kalo begitu apa yang bisa kuperbuat untuk desa/kampung asalku agar bisa sejajar dengan daerah lain?

Tapi apalah aku, yang hanya menjadi seperti ini?

Tapi apa kemampuanku dengan keterbatasanku ini?

Apalah artinya aku ini yang hanya seorang?

Mungkin itu akan muncul dari diri kita, padahal baru bertanya pada diri sendiri, belum memulai. Memang di kampung masih banyak ratusan ribu orang yang bisa berbuat lebih dari kita. Namun, apakah kita akan menunggu bisa melebihi mereka (yang lebih), baru beruat? Bisakah kita menjamin sampai suatu saat kita bisa melebihi mereka (yang berlebih)? Adalah pertanyaan yang sulit dijawab oleh sebagian besar dari kita. Oleh karena itu, mengapa kita harus ragu dan malu untuk berbuat dengan kemampuan yang ada sekarang, sedangkan kita sendiri tidak tahu pasti, kapan kita bisa melebihi mereka (yang berlebih).

Dari Slogohimo, dari pelosok yang bila malam hari hanya terdengar suara cenggèrèt, suara jangkrik, suara gesekan pohon-pohon bambu yang tersapa angin karena saking pelosoknya), ingin berbagai, apa yang bisa kita perbuat untuk daerah asal kita.

Pertama: TUMBUHKAN RASA PERCAYA DIRI

Jangan melihat dari mana kita berasal, jangan suka membandingkan asal kita (udik/pelosok) dengan asal teman kita (misal, kota besar), jangan suka membandingkan status sosial kita (anak petani miskin) dengan status sosial teman kita (anak pejabat/pengusaha yang berlimpah harta). Karena semua itu akan mengerdilkan kita, akan menciutkan nyali kita untuk selalu bisa ‘fight’.

Kedua: SELALU BERKEINGINAN UNTUK BERBAGI (Intent to share).

Kadang kita selalu merasa bahwa saya menjadi begini, saya mencapai ini, karena jerih payah saya, karena usaha keras saya, bukan karena siapa-siapa. Jauhkan pikiran atau pandangan atau paradigma seperti itu. Kita dikatakan kaya karena ada orang yang kurang beruntung dari kita, kalo tidak, mana mungkin kita dikatakan kaya. Kita dikatakan ganteng/cantik karena ada orang yang (menurut persepsi) kurang cantik/ganting dari kita. Kita dikatakan tinggi karena ada orang yang lebih pendek dari kita. Sesungguhnya orang lain telah berbagi untuk kita, sehingga kita mendapat predikat kaya, tinggi, ganteng, dan cantik atau sebaliknya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita juga harus mulai berfikir, berniat, berkeinginan untuk BERBAGI.

Berbagi tidak harus dalam bentuk harta atau materi. 1001 cara untuk berbagi kepada sesama dan kepada makhluk lain, bahkan kepada tumbuh-tumbuhanpun. Dengan begitu, yakinlah bahwa kita tidak pernah akan merasa MISKIN (dalam arti luas).

Ketiga: PANDANGLAH YANG DEKAT SEBELUM MEMANDANG YANG JAUH

Kita masih ingat, ketika masih di bangku sekolah dasar. Apabila bapak guru meminta kita menggambar, sebagian besar lebih suka menggambar gunung berwarna biru, ada jalan, ada matahari, ada hamparan sawah yang hijau. Pokoknya semua terlihat indah. Demikian juga ketika kita memandang gunung yang jauh, dari Slogohimo memandang gunung Merapi di kala pagi, sangat indah, tampak kebiru-biruan. Padahal bila kita mencoba mendekatinya, yang tadinya tampak kebiru-biruan, tidak ada. Yang kita jumpai jurang, bukit-bukit, hamparan pasir yang meleleh dari kawah.

Apa yang bisa kita petik dari pelajaran ini? Ternyata keindahan yang jauh itu kadang hanya fatamorgana yang menipu. Kita lebih tertarik keindahan yang sangat jauh dari posisi kita, dan kadang kita malah melupakan bahwa disekeliling kita sebenarnya banyak keindahan-keindahan yang tidak semu, tidak menipu. Bila filosofi ini dibalik, kita kadang lebih senang berbuat kebajikan untuk pihak yang sangat jauh dari diri kita (meski tidak dilarang) dan kadang kita mengabaikan bahwa disekitar kita juga membutuhkan kebaikan kita. Ya, karena mungkin sebagian dari kita berfikir bahwa kalo membagi kebaikan di sekeliling kita kurang diapresiasi atau tidak menjadikan kita hebat. Pertanyaannya apakah kita harus dicap hebat untuk setiap perbuatan kita? Bukankan masih banyak yang lebih hebat dari kita? Kalo kita mengharapkan seperti itu, pastilah hanya kekecewaan yang kita peroleh.

(BERSAMBUNG)